BAB I
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah
Allamal Qur’an Kholaqol Insan Allamahul Bayan, washshalatuwassalamu’alaRuslilAnam,sayyidina
Muhammadin wa’alaalihi washohbihi ilayaumilmanam.
Pujisyukurkepada
Allah SWT, yang telah menciptakan manusia dan alam seisinya untuk makhluknya serta
mengajari manusia tentang al-qur’an dan kandungannya, yang dengan akal pikiran sebagai
potensi dasar bagi manusia untuk menimbang sesuatu itu baik atau buruk,
menciptakan hati nurani sebagai pengontrol dalam tindak tanduk, yang telah menciptakan
fisik dalam sebagus bagus nya rupa untuk mengekspresikan amal ibadah kita kepada-Nya.
Segala puji bagi Allah sang Maha Kuasa pemberi hidayah, yang semua jiwa dalam genggaman-Nya,
kasih kami ng-Mu mulia tak terperi. Rahman dan Rahim-Nya telah menyertai kami
sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Sholawat bermutiara
kan salam senantiasa kita haturkan kepada revolusionar muslim sejati baginda
Muhammad SAW, serta para sahabatnya yang telah membebaskan umat manusia dari lembah
kemusyrikan dan kejahiliyahan menuju alam yang bersaratkan nilai-nilai tauhid dan
bertaburan cahaya ilmu pengetahuan dan kebenaran. Dalam makalah ini, penulis berupaya
semaksimal mungkin menyajikan makalah dalam bentuk yang mudah dibaca. Namun,
penulis menyadari bahwa penulisan makalah
ini masih banyak kekurangan.
Tiada yang dapat
kami ucapkan sebagai balas budi kami selain untaian ucapant erima kasih dan doa,
agar semua amal kebaikan selama ini penuh dengan iringan rahmat danr idho Allah
SWT. Sehingga dicatat sebagai amalan makbulan ’indallah. Amin .Kami berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan semuanya, khususnya bagi penulis sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ruang
lingkup filsafat ilmu
a. Pengertian
filsafat ilmu
Menurut Robert
Ackermen filsafat ilmu dalam suatu segi adalah sebuah tinjauan kritis
tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap
pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka
ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu,tetapi
filsafat ilmu demikian bukan suatu cabang yang bebas dari praktek ilmiah
senyatanya.
Kemudian Peter
Caws menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat yang
mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh
pengalaman manusia.
Menurut Lewis
White Beck filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran
ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu
keseluruhan.
John Macmurray menjelaskan
filsafat ilmu bersangkutan dengan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-pandang
umum, prasangka-prasangka ilmiah yang terkandung dalam asumsi-asumsi ilmu atau
yang berasal dari keasyikan dengan ilmu.
Filsafat
ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu[1].
Bidang ini mempelajari dasar-dasar
filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu yang termasuk di dalamnya
antara lain ilmu alam dan ilmu social. Disini filsafat ilmu sangat berkaitan
dengan epistemology dan antologi.
Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti :
apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah,
bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan,
memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi. Cara menentukan
validitas dari sebuah informasi, formulasi dan penggunaan metode ilmiah.
Dan ilmu
juga berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan
bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi pada
alam. Untuk tujuan ini, ilmu membuktikan dari eksperimen, deduksi logis serta
pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu
masyarakat.
Filsafat
juga memiliki karakteristik berfikir, yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang
ilmuan tidak akan puas mengenali ilmu hanya dengan melihat dari segi sudut
pandang ilmu itu sendiri. Dia akan melihat hakikat ilmu dengan konstelasi
pengetahuan yang lain. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu
dengan agama. Dia ingin meyakinkan apakah ilmu itu membawa kebahagiaan pada
dirinya.
Karakteristik
yang kedua adalah sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja
bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar ? bagaimana proses
penilaian berdasarkan criteria tersebut dilakukan ? apakah criteria itu sendiri
benar ? lalu benar sendiri itu apa ? seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan
itu melingkar, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus
akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar ?.
Kemudian
yang ketiga adalah sifat spekulatif. Kita mulai mengernyitkan kening dan
timbul kecurigaan terhadap filsafat. Bukankah spekulatif ini suatu dasar yang
tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab : memang hal ini tidak
bisa dihindarkan.
Menyusur
sebuah lingkaran kita harus memulai dari sebuah titik bagaimana pun juga
spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis
dan penelitiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan
dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar
yang dapat diandalkan.
Sekarang
kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi.
Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah fikiran yang dapat
diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa
menetapkan criteria tentang apa yang
disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain
berkembang dia atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik
atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa
wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang
kesenian.[2]
Salah satu
konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme.Atau
ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan
diturunkan dari pengalaman yang kita alami salama kita hidup di dunia ini. Di
sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan pengalaman atau pengamatan .
hipotesa ilmiah di uji dan di kembangkan dengan metode empiris, melalui
berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi
ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini juga
dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan
teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.
Bidang
filsafat ilmu terutama di arahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang
penyanggah eksistensi ilmu adalah ontology, epistemology, dan
aksiologi.
·
Ontology ilmu meliputi apa
hakikat ilmu sebenarnya. Apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan ilmiah,yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang
apa dan bagaimana yang ada itu.
·
Epistemology meliputi sumber,
sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan
ilmiah.
·
Aksiologi ilmu meliputi
nilai-nilai (values) yang bersifat normative dalam pemberian makna
terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita
yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan social, kawasan simbolik
atau pun fisik-material.
Lahirnya ilmu menimbulkan persoalan-persoalan yang berada di luar minat,
kesempatan, atau jangkauan dari ilmuan sendiri untuk menyelesaikannya. Tetapi,
ada sebagian cendikiawan yang dengan budinya mencoba menemukan jawaban-jawaban
yang kiranya tepat terhadap persoalan yang menyangkut ilmu itu. Mereka adalah
philosophers yang dengan pemikiran reflektif berusaha memecahkan
persoalan-persoalan tersebut. Pemikiran para filosuf mengenai ilmu merupakan
philosophy of science. Berbagai definisi philosophy of science dari para
filosuf dapat dikutipkan sebagai berikut[3]
:
Robert Ackerman "philosophy of science in one
aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such a philosophy of science is
clearly not a discipline autonomous of actual scientific practice". (Filsafat ilmu dalam suatu segi
adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan
perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari
pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual).
Lewis White Beck "Philosophy of science questions
and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and
significance of scientific enterprise as a whole". (Filsafat ilmu membahas
dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta
mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan).
A.
Comelius
Benjamin "That philosopic disipline which is the systematic study of the
nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions,
and its place in the general scheme of intellectual discipines". (Cabang pengetahuan filsafati
yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya,
konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka
umum cabang-cabang pengetahuan intelektual)
B.
Stephen R. Toulmin "Asa discipline, the philosophy
of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational
procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so
on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and
metaphysics". (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mancoba pertama-tama
menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengematan, pola-pola perbincangan, metode-metode
penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan
seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari
sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan
metafisika)
Berdasarkan pendapat tersebut di atas kita memperoleh
gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan
mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari segi ontologis, epistemologis
maupun aksiologisnya. Dengan
kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secaraspesifik mengkaji hakikat ilmu, seperti:
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu?
Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang
membuahkan pengetahuan? (Landasan ontologis)
2. Bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedumya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar mengadakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
3. Untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
(Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas, dapatlah dimaknai bahwa filsafat ilmu merupakan suatu akumulasi pemikiran reflektif, radikal,
sistematis mengenai berbagai persoalan ilmu dan dalam hubungannya dengan
segala aspek kehidupan manusia.
Untuk memahami Sub bahasan Filsafat ilmu pendidikan Islam ini dapat
didekati dari permasalahan pokok tentang apa itu filsafat, filsafat ilmu, dan
pendidikan Islam. Telah diketahui bahwa filsafat merupakan disiplin dan sistem
pemikiran tentang enam jenis persoalan berhubungan dengan “(1) hal ada, (2)
pengetahuan, (3) metode, (4) penyimpulan, (5) moralitas, dan (6) keindahan.
Keenam jenis persoalan ini merupakan materi yang dipelajari, dan kemudian
menjadi bagian utama studi filsafat yang terkenal sebagai metafisika,
epistemologi, metodologi, logika, etika dan estetika”.[4]
Sebagai suatu sistem pemikiran menurut M. Dimyathi maka kegiatan
penalaran filosofis dapat dikatagorikan sebagai kegiatan analisis, pemahaman,
diskripsi, penilaian, penafsiran, dan perekaan. Kegiatan penalaran tersebut
bertujuan untuk mencapai kejelasan, kecerahan, keterangan, pembenaran,
pengertian dan penyatupaduan. Secara keseluruhan filsafat mempelajari keenam
jenis persoalan tersebut berdasarkan kegiatan penalaran reflektif dan
hasil refleksinya terwujud dalam pengetahuan filsafati.[5]
Pengetahuan filsafati merupakan induk dari Ilmu (science) dan
pengetahuan (knowledge) yang mana keduanya merupakan potensi esensial pada
manusia dihasilakan dari proses berpikir. Berpikir (na>tiq) adalah sebagai
karakter khusus yang memisahkan manusia dari hewan dan makhluk lainya. Oleh
karena itu keunggulan manusia dari spesies-spesies lainnya karena ilmu dan
pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini bahwa manusia dengan potensi natiq memiliki
kemampuan filosofis dan ilmiah. Potensi inilah yang secara spesifik melahirkan
daya Filsafat Ilmu. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat Ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensinya bergantung pada
hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu.
Dengan demikian, Filsafat Ilmu merupakan satu-satunya medium resmi untuk
memperbincangkan ilmu. Dalam kaitannya dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari
model pandang atau perspektif filosofis terhadap ilmu. Karena itu, tidak
menawarkan materi-materi ilmiyah, tetapi sekedar tinjauan filsofis mengenai
pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu. Bidang Filsafat Ilmu meliputi
epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam ranah pendidikan Islam, ketiga
bidang filsafat ilmu ini perlu dijadikan landasan filosofis, terutama untuk
kepentingan pengokohan dan pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai subyek pemikir
keilmuan sekaligus menggambarkan sebagai individu yang secara epistemologi
memiliki kerangka berfikir keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif
yang berlapis. Lapisan pemikiran obyektif tersebut menurut Dimyati terwujud
dalam dunia human, sebagai salah satu wujud ontologis manusia. Secara ontologis
dunia manusia meliputi keberadaan secara fisik, biotis, psikis, dan human. Pada
taraf human ini dengan tingkatan-tingakatan (a) keimanan, yang mengitegrasikan
bakat kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai pengintegrasi segala aspek jiwa manusia
yang internasional, (c) keakuan, suatu lapis luar kejiwaan yang dinamis, (d)
dunia religius, (e) dunia kebudayaan sebagai ekpresi etis, estetis dan
epistemis.[6]
Obyek filsafat tersebut -dalam filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat
pada umumnya- menerapkan metode kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya
obyek masing-masing yang membedakan antara berbagai cabang dan jenis filsafat.
Demikian pula hubungan antara filsafat pendidikan dengan filsafat pendidikan
Islam. Jenis pertama menempatkan segala yang ada sebagai obyek, sementara yang
kedua mengkhususkan pendidikan dan yang terakhir lebih khusus lagi pendidikan
Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam berarti penerapan metode
filsafat ilmu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap keilmuan
pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan
ilmu (sains), dan filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat ialah
jenis pengetahuan manusia yang logis saja, tentang obyek-obyek yang abstrak.
Ilmu ialah jenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset
terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh
logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan Islam
adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggung jawabkan
secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.[7]
Mengaitkan Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam konsep
pendidikan, menurut Mastuhu umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai
sesuatu yang final. Dalam katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan
iman dan taqwa, sesuatu yang sudah final. Sedangkan katagori ilmu memiliki ciri
khas berupa perubahan, perkembangan dan tidak mengenal kebenaran absolut. Semua
kebenarannya bersifat relatif.[8]
Baik Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi filsafat
pendidikan Islam sangat penting untuk dikaji, karena menurut Al-Shaybani
setidaknya filsafat pendidikan memiliki beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu
ialah (1) dapat menolong perangcang-perangcang pendidikan dan orang-orang
yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat
terhadap proses pendidikan, (2) dapat membentuk asas yang dapat ditentukan
pandangan pengkajian yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas terbaik untuk
penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran intelektual yang
digunakan untuk membela tindakan pendidikan, (5) memberi corak dan pribadi khas
dan istemewa sesuai dengan prinsip dan nilai agama Islam.[9]
b.
Tujuan Filsafat Ilmu
Segala
sesuatu yang terdapat di alam ini diciptakan dengan fungsinya, dengan kata lain
bahwa tidak ada materi yang tidak bermanfaat tak terkecuali lahirnya filsafat
ilmu. Lahirnya filsafat ilmu memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul
terutama yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Oleh karena, di antara
tujuannya ialah:
1.
Mendalami
unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber,
hakikat dan tujuan ilmu.
2.
Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan,
dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita dapat gambaran tentang
proses ilmu kontemporer secara histories.
3.
Menjadi
pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan
persoalan yang alamiah dan non-alamiah.
4.
Mendorong pada calon ilmuan dan iluman untuk
konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya
5.
Mempertegas
bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada
pertentangan.
6.
seseorang (peneliti, mahasiswa)
dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu
atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.
7.
seseorang (peneliti, mahasiswa)
dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar dalam
persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu
teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya)
tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti:
lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya.
8.
Seseorang (peneliti, mahasiswa)
dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa
teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh bidang medis, teknik,
komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan implikasi etis.
Contoh dampak tersebut misalnya masalaheuthanasia dalam dunia
kedokteran masih sangat dilematis dan problematik, penjebolan terhadap sistem
sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) ,
plagiarisme dalam karya ilmiah.
9.
Mendalami unsure-unsur pokok ilmu, sehingga secara
menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
10. Memahami sejarah pertumbuhan,
perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita dapat
gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories.
11. Menjadi pedoman bagi para
dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk
membedakan persoalan yang alamia dan non-alamia.
12. Mendorong pada calon ilmuan dan
iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya.
13. Mempertegas bahwa dalam
persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
c. Kajian
Dari Filsafat Ilmu
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara
substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan
filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang
membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara
disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya (Semiawan, 2005).
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan
ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia (The Liang Gie, 2004). Sedangkan
menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu bertujuan membahas dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan nilai dan pentingnya
upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong
manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung
pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
Tujuan makalah ini adalah membahas tentang dimensi kajian filsafat
ilmu yang terbagi menjadi tiga poin utama, sehingga diharapkan dapat memahami
pentingnya ilmu dalam kehidupan umat manusia.
Ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan
tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat
ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang
hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala
sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang
dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi
fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah,
diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Telaah yang kedua
adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan
perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan
teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah,
meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir
yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang
digunakannya. Telaah ketiga ialah dari segi aksiologi yaitu terkait
dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
Berikut ini digambarkan batasan ruang lingkup
atau bidang garapan tahapan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami
perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu
yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun
berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup
kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang
perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa
pendapat akhli tentang lingkup kajian filsafat ilmu
Objek kajian adalah sasaran yang menjadi fokus bahasan dalam sebuah
kajian. Filsafat Ilmu terbagi menjadi dua bagian, yaitu objek material dan
objek formal:
1. Objek Material Ilmu
Objek Material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu[10]. Dalam
filsafat ilmu, objek material adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu
pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum[11].
Objek ini merupakan hal yang diselidiki (sasaran penyelidikan),
dipandang, disorot atau dipermasalahkan oleh suatu disiplin ilmu. Objek ini
mencakup hal-hal yang bersifat konkret (seperti makhluk hidup, benda mati)
maupun abstrak (seperti nilai-nilai, keyakinan).
ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan,
selain itu, objek material ini bersifat Jelas, tidak banyak mengalami
ketimpangan[12]Dengan
kata lain, objek material ini merupakan suatu kajian penelaahan atau
pembentukan pengetahuan itu, yaitu segala sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada, baik bersifat konkret maupun abstrak (tidak tampak)[13]
Menurut Drs. H. A. Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu
yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam
kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :
a) Ada yang bersifat umum (ontologi),
yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
b) Ada yang bersifat khusus yang
terbagi dua yaitu ada secara mutlak (theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri
dari manusia (antropologi metafisik) dan alam (kosmologi).
Contoh : Objek materialnya adalah manusia dan manusia ini di tinjau dari
sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari
manusia di antaranya psikologi, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.
2. Objek Formal
Sedangkan Objek Formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan
dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek
material itu disorot. Seperti fisika, kedokteran, agama, sastra,
seni, sejarah, dan sebagainya. Sudut pembahasan inilah yang dikenal sebagai
objek formal. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu
pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap
problem-problem ilmu pengetahuan, seperti: apa hakikat ilmu, apa fungsi ilmu
pengetahuan, dan bagaimana memperoleh kebenaran ilmiah. Problem inilah
yang di bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni
landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis[14].
Dengan kata lain, objek formal merupakan sudut pandang atau cara
memandang terhadap objek material (termasuk prinsip-prinsip yang digunakan).
Sehingga tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, namun juga membedakannya dari
bidang-bidang lain. Objek formal ini bersifat menyeluruh (umum) sehingga dapat
mencapai hakikat dari objek materialnya.
Obyek material suatu ilmu dapat saja sama, indentik. Tetapi obyek formal
ilmu tidak sama. Sebab subyek formal ialah sudut pandang, tujuan penyelidikan.
Sebagai contohnya dapat dilihat pada tabel berikut ini Dengan demikian pada
dasarnya, untuk mengenal esensi suatu ilmu, bukanlah pada obyek materialnya,
melainkan pada obyek formalnya.
ONTOLOGI ILMU
Ontologi, dalam bahasa
Inggris ‘ontology’ berakar dari bahasa Yunani ‘on’ berarti ada, dan ‘ontos’
berarti keberadaan . sedangkan ‘logos’ bearti pemikiran. Jadi, ontologi adalah
pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya. Dalam metafisika,
pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah
alam semesta ini berhakikat monistik atau pluralistik, bersifat tetap atau
berubah-ubah, dan apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan atau
kemungkinan. [15]
Ontologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu,
landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu?
Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara
objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra)
yang membuahkan pengetahuan? [16]
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuan hanya pada
daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan
yang berada dalam batas pra pengalaman dan pasca pengalaman diserahkan ilmu
kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari
sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologi
tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini
adalah konsisten dengan asas epistimologi keilmuan yang mensyaratkan adanya
verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang
bersifat benar secara ilmiah.[17]
Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan,
kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat
manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
Di samping itu, secara ontologi ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang
bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya
manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
EPISTIMOLOGI
ILMU
Secara etimologis,
‘epistemologi’ berakar dari bahasa Yunani ‘episteme’ yang
berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan ‘logos’ yang
juga berarti pengetahuan. Jadi, epistemologi berarti pengetahuan
mengenai pengetahuan yang sering disebut ‘ teori pengetahuan’. Persoalan
sentral epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahui dan
bagaimana cara mengetahuinya. Landasan epistimologi ilmu tercermin secara
operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara
ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan :
a. Kerangka
pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
b. Menjabarkan
hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut.
c. Melakukan
verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya
secara faktual.
Kerangka pemikiran
yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan
penjelasan terhadap fenomena alam.Verifikasi secara empiris berarti evaluasi
secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan
faktual.Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain
yang terkandung dalam hipotesis.Demikian juga verifikasi faktual membuka diri
terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis.
Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat
pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir
kritis.[18]
Dalam kaitannya dengan moral, dalam proses kegiatan keilmuan setiap upaya
ilmiah harus ditujukan untuk menentukan kebenaran, yang dlakukan dengan penuh
kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang
berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap
hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.
AKSIOLOGI ILMU
Istilah axiology
berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang
berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori niali, penyelidikan
mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Dalam pemikiran
filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini mengedepan dalam pemikiran Plato
mengenai idea tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan Kebaikan
tertinggi.
Aksiologi adalah
cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan
ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah–kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural, yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Pada dasarnya ilmu
harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini,
ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk kepentingan
manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan
disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu
merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak
memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak
mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.
PENERAPAN ONTOLOGI,
EPISTIMOLOGI , DAN AKSIOLOGI ILMU
Ontologi
Ontologi memberikan efek pada pikiran manusia yaitu suatu realitas. Realitas (kenyataan)
adalah segala sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia,
kenyataan dibedakan menjadi dua yaitu kenyataan yang
bisa diukur oleh manusia (kenyataan materi) dan yang tidak bisa diukur oleh manusia (kenyataan non
materi). Materi adalah kenyataan yang bisa ditangkap
oleh indera dan nonmateri adalah kenyataan yang
tidak bisa ditangkap oleh indera. Contoh
dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat, darah, atom dan lain sebagainya.
Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan dari materi. Contoh dari realitas
nosnmateri adalah akal, jiwa, dan pikiran. Pentingnya
pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian kebenaran pikiran yang
dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah pengetahuan sesuai dengan realitas atau
tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah. Dengan mengetahui
hakikat apa yang kita bahas maka kita dapat menghukumi bahasan kita dengan
hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas tentang kursi misalnya, maka kita
dapat menghukumi kursi dengan hakikat-hakikat kursi itu, misalnya bahwa kursi
mempunyai berat, luas, dapat dibagi dan lain sebagainya.
Epistimologi
Epistemologi membahas tentang bagaimana
seorang manusia mendapatkan pengetahuan.Dalam epistemologi
cara mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan tidak ilmiah Pengetahuan
secara ilmiah diperoleh melalui dua hal yaitu secara rasional
dan empiris. Pengetahuan secara rasional berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan
berdasarkan kaidah-kaidah berpikir.Tetapi pengetahuan
secara empiris berkaitan dengan apakah suatu pengetahuan sesuai dengan kenyataa
empirik. Semua manusia dapat melakukan kedua hal tersebut karena semua manusia
memiliki potensi akal sekaligus potensi inderawi. Pengetahuan yang didapatkan secara tidak
ilmiah dapat terjadi dengan berbagai cara seperti
wahyu, intuisi, perasaan dan informasi dari orang yang dipercaya. Pengetahuan
yang didapatkan dengan cara ini tidak dapat dipelajari oleh semua orang. Ia
membutuhkan kebenaran ilmiah untuk meyakinkan orang-orang yang tidak mengalami
hal yang sama dengan orang yang mempercayainya.
Aksiologi
Aksiologi
membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Pengetahuan
yang didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan kebenarannya,
maka bagaimana mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu. Bagaimana pula
manusia akan menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan pilihan lain
bernilai sama, yaitu relatif. Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki
nilai yang berubah-ubah jika dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda.
Misalnya 5 meter akan relative panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan
juga relatif pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir,
maka pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri.
Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah.
Jika suatu pengetahuan sesuai dengan
realitasnya maka pengetahuan tersebut benar, begitu juga sebaliknya.
Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain yang
berbeda-beda akan bernilai relatif.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu akademis yang mengajak
kita untuk berfikir menurut tata tertib (logika) dengan beban (tidak terikat
pada tradisi dogma dan agama) dan sedalam-dalamnya hingga sampai pada
dasar-dasar persoalan.
Filsafat ilmu merupakan suatu
akumulasi pemikiran reflektif, radikasi, sistematis mengenai berbagai personal
ilmu dan dalam hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia. Adalah cabang
epistemology yang menelaah secara sistematis sifat dasar ilmu, metode-metode,
konsep-konsepnya, praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka
umum dari cabang pengetahuan.
Obyek material filsafat ilmu adalah
ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara
sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Obyek formalnya adalah hakekat (esensi) pengetahuan,
problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti apa hakekat ilmu itu
sesungguhnya.
Lingkupan filsafat ilmu, meskipun
banyak pendapat dari kalangan filosuf, namun dapatlah ditarik sebuah kesimpulan
bahwa dan ruang lingkup tersebut meliputi dasar, pra-anggapan dan pangkal
pendirian ilmu, metodologi ilmu, dan aneka telaah mengenai saling kait antara
berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta.
Hasil usaha manusia untuk mencari hasil kebenaran
(filsafat ilmu/ilmu filsafat) dengan menggunakan metode yang berbeda dan dari
hasil pengamatan atau observasi, menghasilkan suatu persoalan atau problem.
Terutama munculnya suatu pandangan yang berbeda. Karena sama-sama mepertahankan
pendapat masing-masing yang telah diperoleh melalui pengamatan atau empiris
masing-masing. Dan salah satu contohnya adalah antara filosuf auguste comte dan
Papper yang mempunyai pandangan dan metode yang berbeda dalam epistemologi.
Tujuan filsafat ilmu ialah Mendalami unsur-unsur
pokok ilmu, memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu, menjadi pedoman
bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi,
mendorong calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan
mengembangkanya dan mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara
ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
[1] Vardiansyah, Dani. Filsafat ilmu komunikasi:
suatu pengantar, indeks, Jakarta 2008. Hlm 20
[2] Jujun s. suriasumantri. Filsafat ilmu;
sebuah pengantar popular; pustaka sinar harapan, Jakarta, 2007. Hlm 20-22
[3].
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jogjakarta: Liberty
Jogjakarta, 2007), 57-61.
[4] The Liang Gie,
Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat (Yogyakarta: Karya Kencana,
1977), 11.
[5] M. Dimyati,
Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan (Malang : IPTI, 2001), 1.
[6] M. Dimyati,
Keilmuan Pendidikan Sekolah Dasar: Problem Paradigma Teoritis dan Orientasi
Praktis Dilematis (Malang: IPTPI, 2002), 5.
[7] Ahmad Tafsir,
Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2000), 14
[9] Umar Muhammad
Al-T{aumi> Al-Shayba>ni>, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Hasan
Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30.
[10] Surajiyo, Ilmu Filsafat (Suatu
pengantar), Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm, 5
[12]
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu (Ontologi,
Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, hlm 54.
[13]
A. Susanto, Filsafat Ilmu (Suatu
Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis), Bumi Aksara, Jakarta,
2011, hlm 11.
[14] Rizal Mustansyir, & Misnal Munir, Filsafat
Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm 45
[17] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.88