Rabu, 07 Mei 2014

Ruang Lingkup Filsafat Ilmu

BAB I
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
            Alhamdulillah Allamal Qur’an Kholaqol Insan Allamahul Bayan, washshalatuwassalamu’alaRuslilAnam,sayyidina Muhammadin wa’alaalihi washohbihi ilayaumilmanam.
            Pujisyukurkepada Allah SWT, yang telah menciptakan manusia dan alam seisinya untuk makhluknya serta mengajari manusia tentang al-qur’an dan kandungannya, yang dengan akal pikiran sebagai potensi dasar bagi manusia untuk menimbang sesuatu itu baik atau buruk, menciptakan hati nurani sebagai pengontrol dalam tindak tanduk, yang telah menciptakan fisik dalam sebagus bagus nya rupa untuk mengekspresikan amal ibadah kita kepada-Nya. Segala puji bagi Allah sang Maha Kuasa pemberi hidayah, yang semua jiwa dalam genggaman-Nya, kasih kami ng-Mu mulia tak terperi. Rahman dan Rahim-Nya telah menyertai kami sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
            Sholawat bermutiara kan salam senantiasa kita haturkan kepada revolusionar muslim sejati baginda Muhammad SAW, serta para sahabatnya yang telah membebaskan umat manusia dari lembah kemusyrikan dan kejahiliyahan menuju alam yang bersaratkan nilai-nilai tauhid dan bertaburan cahaya ilmu pengetahuan dan kebenaran. Dalam makalah ini, penulis berupaya semaksimal mungkin menyajikan makalah dalam bentuk yang mudah dibaca. Namun, penulis menyadari bahwa   penulisan makalah ini masih banyak kekurangan.
            Tiada yang dapat kami ucapkan sebagai balas budi kami selain untaian ucapant erima kasih dan doa, agar semua amal kebaikan selama ini penuh dengan iringan rahmat danr idho Allah SWT. Sehingga dicatat sebagai amalan makbulan ’indallah. Amin .Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan semuanya, khususnya bagi penulis sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN
1.     Ruang lingkup filsafat ilmu

a.      Pengertian filsafat ilmu

Menurut Robert Ackermen filsafat ilmu dalam suatu segi adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu,tetapi filsafat ilmu demikian bukan suatu cabang yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya.

Kemudian Peter Caws menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia.

Menurut Lewis White Beck filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

John Macmurray menjelaskan filsafat ilmu bersangkutan dengan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-pandang umum, prasangka-prasangka ilmiah yang terkandung dalam asumsi-asumsi ilmu atau yang berasal dari keasyikan dengan ilmu.

Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan  mengenai hakikat ilmu[1]. Bidang ini mempelajari dasar-dasar  filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu social. Disini filsafat ilmu sangat berkaitan dengan epistemology  dan antologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti : apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi. Cara menentukan validitas dari sebuah informasi, formulasi dan penggunaan metode ilmiah.

Dan ilmu juga berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi pada alam. Untuk tujuan ini, ilmu membuktikan dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat.

Filsafat juga memiliki karakteristik berfikir, yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak akan puas mengenali ilmu hanya dengan melihat dari segi sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia akan melihat hakikat ilmu dengan konstelasi pengetahuan yang lain. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin meyakinkan apakah ilmu itu membawa kebahagiaan pada dirinya.
Karakteristik yang kedua adalah sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar ? bagaimana proses penilaian berdasarkan criteria tersebut dilakukan ? apakah criteria itu sendiri benar ? lalu benar sendiri itu apa ? seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar ?.


Kemudian yang ketiga adalah sifat spekulatif. Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat. Bukankah spekulatif ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab : memang hal ini tidak bisa dihindarkan.

Menyusur sebuah lingkaran kita harus memulai dari sebuah titik bagaimana pun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis dan penelitiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.

Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah fikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan criteria tentang  apa yang disebut  benar  maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang dia atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.[2]

Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme.Atau ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alami salama kita hidup di dunia ini. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan pengalaman atau pengamatan . hipotesa ilmiah di uji dan di kembangkan dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini juga dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.

Bidang filsafat ilmu terutama di arahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyanggah eksistensi ilmu adalah ontology, epistemology, dan aksiologi.
·         Ontology ilmu meliputi apa hakikat ilmu sebenarnya. Apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah,yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada itu.
·         Epistemology meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah.
·         Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan social, kawasan simbolik atau pun fisik-material.
 Lahirnya ilmu menimbulkan persoalan-persoalan yang berada di luar minat, kesempatan, atau jangkauan dari ilmuan sendiri untuk menyelesaikannya. Tetapi, ada sebagian cendikiawan yang dengan budinya mencoba menemukan jawaban-jawaban yang kiranya tepat terhadap persoalan yang menyangkut ilmu itu. Mereka adalah philosophers yang dengan pemikiran reflektif berusaha memecahkan persoalan-persoalan tersebut. Pemikiran para filosuf mengenai ilmu merupakan philosophy of science. Berbagai definisi philosophy of science dari para filosuf dapat dikutipkan sebagai berikut[3] :
Robert Ackerman "philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such a philosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific practice". (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual).

Lewis White Beck "Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole". (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan).

A.      Comelius Benjamin "That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines". (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode­-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-­cabang pengetahuan intelektual)

B.      Stephen R. Toulmin "Asa discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics". (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mancoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengematan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika)

Berdasarkan pendapat tersebut di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari segi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secaraspesifik mengkaji hakikat ilmu, seperti:
1.      Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan? (Landasan ontologis)
2.      Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedumya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mengadakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
3.      Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapatlah dimaknai bahwa filsafat ilmu merupakan suatu akumulasi pemikiran reflektif, radikal, sistematis mengenai berbagai persoalan ilmu dan dalam hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia.

Untuk memahami Sub bahasan Filsafat ilmu pendidikan Islam ini dapat didekati dari permasalahan pokok tentang apa itu filsafat, filsafat ilmu, dan pendidikan Islam. Telah diketahui bahwa filsafat merupakan disiplin dan sistem pemikiran tentang enam jenis persoalan berhubungan dengan “(1) hal ada, (2) pengetahuan, (3) metode, (4) penyimpulan, (5) moralitas, dan (6) keindahan. Keenam jenis persoalan ini merupakan materi yang dipelajari, dan kemudian menjadi bagian utama studi filsafat yang terkenal sebagai metafisika, epistemologi, metodologi, logika, etika dan estetika”.[4]
Sebagai suatu sistem pemikiran menurut M. Dimyathi maka kegiatan penalaran filosofis dapat dikatagorikan sebagai kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran, dan perekaan. Kegiatan penalaran tersebut bertujuan untuk mencapai kejelasan, kecerahan, keterangan, pembenaran, pengertian dan penyatupaduan. Secara keseluruhan filsafat mempelajari keenam jenis persoalan tersebut berdasarkan  kegiatan penalaran reflektif dan hasil refleksinya terwujud dalam pengetahuan filsafati.[5]

Pengetahuan filsafati merupakan induk dari Ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge) yang mana keduanya merupakan potensi esensial pada manusia dihasilakan dari proses berpikir. Berpikir (na>tiq) adalah sebagai karakter khusus yang memisahkan manusia dari hewan dan makhluk lainya. Oleh karena itu keunggulan manusia dari spesies-spesies lainnya karena ilmu dan pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini bahwa manusia dengan potensi natiq memiliki kemampuan filosofis dan ilmiah. Potensi inilah yang secara spesifik melahirkan daya Filsafat Ilmu. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat Ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensinya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu.
Dengan demikian, Filsafat Ilmu merupakan satu-satunya medium resmi untuk memperbincangkan ilmu. Dalam kaitannya dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari model pandang atau perspektif filosofis terhadap ilmu. Karena itu, tidak menawarkan materi-materi ilmiyah, tetapi sekedar tinjauan filsofis mengenai pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu. Bidang Filsafat Ilmu meliputi epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam ranah pendidikan Islam, ketiga bidang filsafat ilmu ini perlu dijadikan landasan filosofis, terutama untuk kepentingan pengokohan dan pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai subyek pemikir keilmuan sekaligus menggambarkan sebagai individu yang secara epistemologi memiliki kerangka berfikir keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif yang berlapis. Lapisan pemikiran obyektif tersebut menurut Dimyati terwujud dalam dunia human, sebagai salah satu wujud ontologis manusia. Secara ontologis dunia manusia meliputi keberadaan secara fisik, biotis, psikis, dan human. Pada taraf human ini dengan tingkatan-tingakatan (a) keimanan, yang mengitegrasikan bakat kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai pengintegrasi segala aspek jiwa manusia yang internasional, (c) keakuan, suatu lapis luar kejiwaan yang dinamis, (d) dunia religius, (e) dunia kebudayaan sebagai ekpresi  etis, estetis dan epistemis.[6] Obyek filsafat tersebut -dalam filsafat pendidikan Islam sebagaimana filsafat pada umumnya- menerapkan metode kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya obyek masing-masing yang membedakan antara berbagai cabang dan jenis filsafat. Demikian pula hubungan antara filsafat pendidikan dengan filsafat pendidikan Islam. Jenis pertama menempatkan segala yang ada sebagai obyek, sementara yang kedua mengkhususkan pendidikan dan yang terakhir lebih khusus lagi pendidikan Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam berarti penerapan metode filsafat ilmu meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi terhadap keilmuan pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan antara filsafat dan ilmu (sains), dan filsafat pendidikan Islam. Menurutnya filsafat  ialah jenis pengetahuan manusia yang logis saja, tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu ialah jenis pengetahuan manusia  yang diperoleh dengan riset  terhadap obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun filsafat pendidikan Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggung jawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.[7]
Mengaitkan Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam konsep pendidikan, menurut Mastuhu umumnya berhadapan dengan pengertian Islam sebagai sesuatu yang final. Dalam katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan iman dan taqwa, sesuatu yang sudah final. Sedangkan katagori ilmu memiliki ciri khas berupa perubahan, perkembangan dan tidak mengenal kebenaran absolut. Semua kebenarannya bersifat relatif.[8]
Baik Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi filsafat pendidikan Islam sangat penting untuk dikaji, karena menurut Al-Shaybani setidaknya filsafat pendidikan memiliki beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu ialah (1) dapat menolong perangcang-perangcang pendidikan dan orang-orang  yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan, (2) dapat membentuk asas yang dapat ditentukan pandangan pengkajian yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran intelektual yang digunakan untuk membela tindakan pendidikan, (5) memberi corak dan pribadi khas dan istemewa sesuai dengan prinsip dan nilai agama Islam.[9]
b.     Tujuan Filsafat Ilmu

Segala sesuatu yang terdapat di alam ini diciptakan dengan fungsinya, dengan kata lain bahwa tidak ada materi yang tidak bermanfaat tak terkecuali lahirnya filsafat ilmu. Lahirnya filsafat ilmu memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul terutama yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Oleh karena, di antara tujuannya ialah:
1.      Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
2.        Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories.
3.      Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di    perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang alamiah dan non-alamiah.
4.          Mendorong pada calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya
5.      Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
6.      seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.
7.      seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya.
8.      Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya masalaheuthanasia dalam dunia kedokteran masih sangat dilematis dan problematik, penjebolan terhadap sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme dalam karya ilmiah.
9.          Mendalami unsure-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
10.    Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories.
11.     Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang alamia dan non-alamia.
12.   Mendorong pada calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya.
13.    Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.





c.      Kajian Dari Filsafat Ilmu
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.  Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya (Semiawan, 2005).

Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia (The Liang Gie, 2004). Sedangkan menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu bertujuan membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan nilai dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.

Tujuan makalah ini adalah membahas tentang dimensi kajian filsafat ilmu yang terbagi menjadi tiga poin utama, sehingga diharapkan dapat memahami pentingnya ilmu dalam kehidupan umat manusia.

Ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Telaah yang kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya.  Telaah ketiga ialah dari segi aksiologi yaitu terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
Berikut ini digambarkan batasan ruang lingkup atau bidang garapan tahapan Ontologi, Epistimologi,  dan Aksiologi

Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa pendapat akhli tentang lingkup kajian filsafat ilmu 

Objek kajian adalah sasaran yang menjadi fokus bahasan dalam sebuah kajian. Filsafat Ilmu terbagi menjadi dua bagian, yaitu objek material dan objek formal:                                                                                                                                                                                                                                                   
1.   Objek Material Ilmu
Objek Material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu[10]. Dalam filsafat ilmu, objek material adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum[11].
Objek ini merupakan hal yang diselidiki (sasaran penyelidikan), dipandang, disorot atau dipermasalahkan oleh suatu disiplin ilmu. Objek ini mencakup hal-hal yang bersifat konkret (seperti makhluk hidup, benda mati) maupun abstrak (seperti nilai-nilai, keyakinan).
ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan, selain itu, objek material ini bersifat Jelas, tidak banyak mengalami ketimpangan[12]Dengan kata lain, objek material ini merupakan suatu kajian penelaahan atau pembentukan pengetahuan itu, yaitu segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik bersifat konkret maupun abstrak (tidak tampak)[13]
Menurut Drs. H. A. Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :
a)      Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
b)      Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak (theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi metafisik) dan alam (kosmologi).
Contoh : Objek materialnya adalah manusia dan manusia ini di tinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia di antaranya psikologi, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.
2.   Objek Formal
Sedangkan Objek Formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Seperti fisika, kedokteran, agama, sastra, seni, sejarah, dan sebagainya. Sudut pembahasan inilah yang dikenal sebagai objek formal. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem ilmu pengetahuan, seperti: apa hakikat ilmu, apa fungsi ilmu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh kebenaran ilmiah. Problem inilah yang di bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis[14].
Dengan kata lain, objek formal merupakan sudut pandang atau cara memandang terhadap objek material (termasuk prinsip-prinsip yang digunakan). Sehingga tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, namun juga membedakannya dari bidang-bidang lain. Objek formal ini bersifat menyeluruh (umum) sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya.
Obyek material suatu ilmu dapat saja sama, indentik. Tetapi obyek formal ilmu tidak sama. Sebab subyek formal ialah sudut pandang, tujuan penyelidikan. Sebagai contohnya dapat dilihat pada tabel berikut ini Dengan demikian pada dasarnya, untuk mengenal esensi suatu ilmu, bukanlah pada obyek materialnya, melainkan pada obyek formalnya.

ONTOLOGI ILMU
Ontologi, dalam bahasa Inggris ‘ontology’ berakar dari bahasa Yunani ‘on’ berarti ada, dan ‘ontos’ berarti keberadaan . sedangkan ‘logos’ bearti pemikiran. Jadi, ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannyaDalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam semesta ini berhakikat monistik atau pluralistik, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan atau kemungkinan. [15]
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? [16] Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuan hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman dan pasca pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistimologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.[17] Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologi ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.

      EPISTIMOLOGI ILMU
Secara etimologis, ‘epistemologi’ berakar dari bahasa Yunani ‘episteme’ yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan ‘logos’ yang juga berarti pengetahuan. Jadi, epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan yang sering disebut ‘ teori pengetahuan’. Persoalan sentral epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Landasan epistimologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan :
a.       Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
b.      Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut.
c.       Melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam.Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual.Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis.Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis.[18] Dalam kaitannya dengan moral, dalam proses kegiatan keilmuan setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menentukan kebenaran, yang dlakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan.

AKSIOLOGI ILMU
Istilah axiology berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori niali, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai. Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini mengedepan dalam pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan Kebaikan tertinggi.
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah–kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural, yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.

PENERAPAN ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI , DAN AKSIOLOGI ILMU

    Ontologi
Ontologi memberikan efek pada pikiran manusia yaitu suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan  dibedakan menjadi dua  yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia (kenyataan materi) dan  yang tidak bisa diukur oleh manusia (kenyataan non materi)Materi adalah kenyataan yang  bisa ditangkap oleh indera dan nonmateri adalah kenyataan yang tidak bisa ditangkap oleh indera. Contoh dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat, darah, atom dan lain sebagainya. Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan dari materi. Contoh dari realitas nosnmateri adalah akal, jiwa, dan pikiran. Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian kebenaran pikiran yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah pengetahuan sesuai dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah. Dengan mengetahui hakikat apa yang kita bahas maka kita dapat menghukumi bahasan kita dengan hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas tentang kursi misalnya, maka kita dapat menghukumi kursi dengan hakikat-hakikat kursi itu, misalnya bahwa kursi mempunyai berat, luas, dapat dibagi dan lain sebagainya.


      Epistimologi
 Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan pengetahuan.Dalam epistemologi cara mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan tidak ilmiah Pengetahuan secara ilmiah diperoleh melalui dua hal yaitu secara rasional dan empiris. Pengetahuan secara rasional berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan berdasarkan kaidah-kaidah berpikir.Tetapi pengetahuan secara empiris berkaitan dengan apakah suatu pengetahuan sesuai dengan kenyataa empirik. Semua manusia dapat melakukan kedua hal tersebut karena semua manusia memiliki potensi akal sekaligus potensi inderawiPengetahuan yang didapatkan secara tidak ilmiah dapat terjadi dengan berbagai cara seperti wahyu, intuisi, perasaan dan informasi dari orang yang dipercaya. Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini tidak dapat dipelajari oleh semua orang. Ia membutuhkan kebenaran ilmiah untuk meyakinkan orang-orang yang tidak mengalami hal yang sama dengan orang yang mempercayainya.
    Aksiologi
 Aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Pengetahuan yang didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan kebenarannya, maka bagaimana mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu. Bagaimana pula manusia akan menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan pilihan lain bernilai sama, yaitu relatif. Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang berubah-ubah jika dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5 meter akan relative panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir, maka pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri. Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah.
  Jika suatu pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan tersebut benar, begitu juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain yang berbeda-beda akan bernilai relatif.










BAB III
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu akademis yang mengajak kita untuk berfikir menurut tata tertib (logika) dengan beban (tidak terikat pada tradisi dogma dan agama) dan sedalam-dalamnya hingga sampai pada dasar-dasar persoalan.
Filsafat ilmu merupakan suatu akumulasi pemikiran reflektif, radikasi, sistematis mengenai berbagai personal ilmu dan dalam hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia. Adalah cabang epistemology yang menelaah secara sistematis sifat dasar ilmu, metode-metode, konsep-konsepnya, praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan.
Obyek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Obyek formalnya adalah hakekat (esensi) pengetahuan, problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti apa hakekat ilmu itu sesungguhnya.
Lingkupan filsafat ilmu, meskipun banyak pendapat dari kalangan filosuf, namun dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa dan ruang lingkup tersebut meliputi dasar, pra-anggapan dan pangkal pendirian ilmu, metodologi ilmu, dan aneka telaah mengenai saling kait antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta.
Hasil usaha manusia untuk mencari hasil kebenaran (filsafat ilmu/ilmu filsafat) dengan menggunakan metode yang berbeda dan dari hasil pengamatan atau observasi, menghasilkan suatu persoalan atau problem. Terutama munculnya suatu pandangan yang berbeda. Karena sama-sama mepertahankan pendapat masing-masing yang telah diperoleh melalui pengamatan atau empiris masing-masing. Dan salah satu contohnya adalah antara filosuf auguste comte dan Papper yang mempunyai pandangan dan metode yang berbeda dalam epistemologi.
Tujuan filsafat ilmu ialah Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu, menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, mendorong calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya dan mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.





[1] Vardiansyah, Dani. Filsafat ilmu komunikasi: suatu pengantar, indeks, Jakarta 2008. Hlm 20
[2] Jujun s. suriasumantri. Filsafat ilmu; sebuah pengantar popular; pustaka sinar harapan, Jakarta, 2007. Hlm 20-22
[3]. The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jogjakarta: Liberty Jogjakarta, 2007), 57-61.

[4] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Kearah Penertiban Bidang Filsafat (Yogyakarta: Karya Kencana, 1977), 11.
[5] M. Dimyati, Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan (Malang : IPTI, 2001), 1.
[6] M. Dimyati, Keilmuan Pendidikan Sekolah Dasar: Problem Paradigma Teoritis dan Orientasi Praktis Dilematis (Malang: IPTPI, 2002), 5.
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 14
[8] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 18
[9] Umar Muhammad Al-T{aumi> Al-Shayba>ni>, Falsafah Pendidikan Islam, ter. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30.
[10] Surajiyo, Ilmu Filsafat (Suatu pengantar), Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm, 5
[11] Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm 44.

[12] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 54.

[13] A. Susanto, Filsafat Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis), Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm 11.

[14] Rizal Mustansyir, & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm 45
[15] Suparlan Suhartono, Ph.D., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Ar ruz, 2005, hlm. 149.
[16] Jujun Suriasumantri, 1985, hlm.34

[17] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.88
[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.91